Saat
Tsunami, DPRD Sumatera Barat di Italia
Senin,
01 November 2010 | 05:27 WIB
TEMPO
Interaktif, Padang -Di tengah bencana
gempa bumi dan tsunami yang
menerjang
Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, sembilan anggota Dewan
Perwakilan
Rakyat Daerah Sumatera Barat justru berkunjung ke Italia. Kunjungan
tersebut
berlangsung dari 25 Oktober hingga 2 November 2010.
Sekretaris
DPRD Sumatera Barat, Nasral Anas, mengatakan kunjungan itu bukan
untuk
pelesiran dan bukan atas inisiatif DPRD. Menurut dia pihaknya hanya
memenuhi
undangan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian
untuk
menghadiri pameran kopi di Italia.
"Saya
tidak hafal juga agenda mereka, ke mana dan ngapain saja," kata Nasral
saat
dihubungi
tadi malam.
Rombongan
DPRD Sumatera Barat yang berangkat ke Italia terdiri atas tujuh orang dari
Komisi II bidang ekonomi dan keuangan, satu orang dari
Komisi
I bidang pemerintahan, dan satu orang wakil ketua. Mereka adalah Leonardy
Harmayni, Musmaizer, Zailis Usman (ketiganya Fraksi Partai
Golkar),
Dodi Delvi, Eldi Sutrisno, Liswandi (ketiganya Fraksi Demokrat), Indra Dt Rajo
Lelo (Fraksi PAN), Islon Chong (Fraksi PBR), dan
Marthias
Tanjung (Fraksi PPP).
Menurut
mantan Ketua Forum Peduli Sumatera Barat Mestika Zed, kepergian para anggota
Dewan ke Italia itu tak ada untungnya dan secara
moral
tak bisa dipertanggungjawabkan.
"Jawabannya
sudah klise, karena ini sudah dianggarkan. Padahal dari dulu studi banding ini
sudah banyak dibahas. Apa untungnya bagi
masyarakat,
tidak ada. Ini hanya manipulasi oleh anggota Dewan," kata Mestika kemarin.
Mestika,
yang pernah membongkar kasus korupsi berjemaah anggota DPRD Sumatera Barat
periode 1999-2004, mengatakan masyarakat juga ikut
bertanggung
jawab karena telah ikut memilih anggota Dewan yang seperti itu. Dia mengatakan
masyarakat harus ikut mengevaluasi anggaran
DPRD.
"Harus
ada mekanisme (yang memungkinkan) masyarakat tahu ke mana anggaran
digunakan," kata Mestika.
Seorang
warga Sikakap, Kepulauan Mentawai, Awo Jaluhu, berharap anggota DPRD tersebut
segera pulang ke Padang. "Lihatlah, banyak korban
yang
masih tinggal di hutan, dingin, berhujan-hujan, apalagi saat badai seperti
sekarang. Lebih baik bantu kami daripada jalan-jalan," ujarnya.
Mari kita lihat contoh lain, agar dapat semakin
memahami krisis rasa malu dalam dunia politik di Indonesia:
Gaji Buta, Krisis Moral dan Rasa Malu Kita
Seorang
anak pejabat teras di Setdakab Pidie yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS)
ditengarai
sudah dua tahun menikmati gaji buta. PNS yang berdinas di Kantor Pendidikan
dan
Latihan Pidie tersebut selama dua tahun ini mengikuti kuliah di Banda Aceh,
namun
tetap
menerima gaji sebagaimana PNS lainnya. Berita ini hanya sebuah berita “basi”,
hanya
status
si anak pejabat yang membuat “ramai”. Sudah bukan rahasia lagi negeri ini
dikelola
penuh
dengan KKN Plus. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme plus. Mau bekerja di
pemerintahan?
Harus dekat dekat dengan pejabat pemerintah atau penguasa. Bila tidak
harus
punya dana puluhan juta alias menyogok bila ingin menjadi PNS.
Setali
tiga uang di instansi negara lainnya. Mau masuk ke manapun di lembaga pengelola
negara,
harus menyediakan dana atau punya lobi kuat ke “atas”. Ini sudah terjadi sejak
puluhan
tahun lalu, dan sayangnya semakin “mengganas” di masa reformasi. Banyak yang
sebelumnya
mencaci maki KKN, malah diam diam terlibat sistem yang sudah sedemikian
dalam
dengan KKN-isme dalam mengelola negara ini. Kita boleh bertanya; berapa banyak
pegawai
negeri yang masuk resmi dan murni karena rekrutmen profesional? Mungkin
semua
akan berkilah, apalagi mereka yang terkait dengan pengeruk uang negara.
Merekalah
yang
punya negara ini, kita cuma menumpang! Bahkan hukum pun mereka kuasai, bersama
mereka
yang mampu menekan, dengan berbagai cara. Lihatlah situasi terkini di Aceh
saja,
siapa
yang dekat dengan penguasa atau mereka yang kuatlah yang akan berhasil mengeruk
uang
negara melalui proyek proyek atau jabatan empuk. Atau mereka yang mau mengemis,
mendesak
dan menjilat. Beginilah nyatanya situasi negeri yang berazas hukum dan konon
amat
bermoral ketimuran karena rakyatnya yang taat beragama ini.
Sungguh inilah yang sering kita
sebut kepura puraan. Kasus anak pejabat Pidie ini hanya sebutir pasir di sebuah
pantai yang amat kotor airnya dan butir butir pasirnya. Berselemak KKN! Anda
ingin memasukkan anak ke sekolah favorit? Mau masuk dan mengabdi di institusi
tertentu? Bahkan ingin menjadi seorang pejabat di lingkungan basah? Bersiap
siaplah pakai modal sejumlah dana pendukung.
Ya wajar sajalah, mau jadi Caleg, bupati, gubernur apalagi presiden perlu modal uang, minimal untuk kampanye atau ditabur taburkan ke konstituennya, ya rakyat. Entah sistem apa ini namanya. Soal Pilsung yang kita agung agungkan cuplikan sebuah demokrasi yang kita ambil dari negara negara dengan demokrasi maju, ternyata palsu sampai di lapangan negeri ini. Rakyat yang semakin hedonis, materialis, menilai semata mata karena uang. Kita ini hidup semakin dalam ke jurang kemunafikan. Sulit mengubah sistem yang buruk ini, meski Menteri Penertiban Aparatur Negara sendiri mengatakan aparatur negara semakin baik dari hari ke sehari. Semakin diatur, yang tidak tepat akan “dibuang” ke lembaga yang kurang berfungsi. Tapi kenyataannya kita lihat betapa banyak uang negara dihambur hamburkan sia sia, termasuk kepada jutaan penerima gaji buta.
Kita belum melongok ke instansi lain, yang makan gaji buta, yang dengan bangga menerima dana apresiasi lain yang sebenarnya “tidak halal”. Tidak halal? Siapa yang peduli di negeri yang rakyatnya, sekali lagi hampir seluruh rakyatnya semakin mengagung agungkan materi? Menghormati dan kagum kepada mereka yang punya uang dan jabatan? Maka semua orang berlomba lomba mendapat sanjungan dari rakyat seperti ini. Pemimpin dan rakyat seolah menikmatinya, dan pura pura tidak tahu bila terjadi penyelewengan, konon lagi bila mereka terlibat di dalamnya. Di mulut manis dan suci, tapi sukar melihat diri sendiri dengan cermin yang bersih.
Cermin kita kotor. Dan siapa yang mau bercermin. Toh pemimpin dan rakyat sama saja. Bukankah pemimpin lahir dari rakyat? Bagaimana rakyatnya begitulah pemimpin yang lahir. Selamat bermimpi ke negeri mimpi, yang tidak pernah ada bahkan dalam acara televisi pun bisa berganti ganti stasiun tergantung bayaran.
Begitulah wajah kita, bicara manis dan idealis, tapi bertemu uang baho pun suyok. Sudahlah, lupakan cita cita membangun negara yang maju. Dan bersiaplah saling memakan bila krisis menerpa kita. Semuanya buah dari krisis moral dan rasa malu yang telah amat panjang dan kronis di negeri ini.
Ya wajar sajalah, mau jadi Caleg, bupati, gubernur apalagi presiden perlu modal uang, minimal untuk kampanye atau ditabur taburkan ke konstituennya, ya rakyat. Entah sistem apa ini namanya. Soal Pilsung yang kita agung agungkan cuplikan sebuah demokrasi yang kita ambil dari negara negara dengan demokrasi maju, ternyata palsu sampai di lapangan negeri ini. Rakyat yang semakin hedonis, materialis, menilai semata mata karena uang. Kita ini hidup semakin dalam ke jurang kemunafikan. Sulit mengubah sistem yang buruk ini, meski Menteri Penertiban Aparatur Negara sendiri mengatakan aparatur negara semakin baik dari hari ke sehari. Semakin diatur, yang tidak tepat akan “dibuang” ke lembaga yang kurang berfungsi. Tapi kenyataannya kita lihat betapa banyak uang negara dihambur hamburkan sia sia, termasuk kepada jutaan penerima gaji buta.
Kita belum melongok ke instansi lain, yang makan gaji buta, yang dengan bangga menerima dana apresiasi lain yang sebenarnya “tidak halal”. Tidak halal? Siapa yang peduli di negeri yang rakyatnya, sekali lagi hampir seluruh rakyatnya semakin mengagung agungkan materi? Menghormati dan kagum kepada mereka yang punya uang dan jabatan? Maka semua orang berlomba lomba mendapat sanjungan dari rakyat seperti ini. Pemimpin dan rakyat seolah menikmatinya, dan pura pura tidak tahu bila terjadi penyelewengan, konon lagi bila mereka terlibat di dalamnya. Di mulut manis dan suci, tapi sukar melihat diri sendiri dengan cermin yang bersih.
Cermin kita kotor. Dan siapa yang mau bercermin. Toh pemimpin dan rakyat sama saja. Bukankah pemimpin lahir dari rakyat? Bagaimana rakyatnya begitulah pemimpin yang lahir. Selamat bermimpi ke negeri mimpi, yang tidak pernah ada bahkan dalam acara televisi pun bisa berganti ganti stasiun tergantung bayaran.
Begitulah wajah kita, bicara manis dan idealis, tapi bertemu uang baho pun suyok. Sudahlah, lupakan cita cita membangun negara yang maju. Dan bersiaplah saling memakan bila krisis menerpa kita. Semuanya buah dari krisis moral dan rasa malu yang telah amat panjang dan kronis di negeri ini.
Dapat
disimpulkan bahwa, para elit politik kita seakan kekurangan budaya sopan
santun dalam berpolitik. Banyak krisis
yang dihadapi bangsa kita dikarenakan perilaku para elit politik kita. Seperti
contoh anggota DPR yang pergi ke Italia untuk mengunjungi pameran kopi
sedangkan di daerahnya, Mentawai sedang diguncang gempa dan tsunami yang banyak
menewaskan banyak jiwa. Para elit politik kita seakan tidak memiliki rasa malu
kepada masyarakat.
Sebagai
solusinya, sebaiknya kita sebagai generasi muda harus menata norma dan kelakuan
kita sehingga kelak ketika kita terjun kedalam masyarakat, kita dapat
mengkontrol dan mengetahui bahwa kesadaran rasa malu itu sangat dibutuhkan
untuk bermasyarakat.
By : Lea
Tidak ada komentar:
Posting Komentar