Rabu, 20 November 2013

Elit Politik Indonesia


Saat Tsunami, DPRD Sumatera Barat di Italia  
Senin, 01 November 2010 | 05:27 WIB
TEMPO Interaktif, Padang -Di tengah bencana gempa bumi dan tsunami yang
menerjang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, sembilan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Barat justru berkunjung ke Italia. Kunjungan
tersebut berlangsung dari 25 Oktober hingga 2 November 2010.
Sekretaris DPRD Sumatera Barat, Nasral Anas, mengatakan kunjungan itu bukan
untuk pelesiran dan bukan atas inisiatif DPRD. Menurut dia pihaknya hanya
memenuhi undangan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian
untuk menghadiri pameran kopi di Italia.
"Saya tidak hafal juga agenda mereka, ke mana dan ngapain saja," kata Nasral saat
dihubungi tadi malam.
Rombongan DPRD Sumatera Barat yang berangkat ke Italia terdiri atas tujuh orang dari Komisi II bidang ekonomi dan keuangan, satu orang dari
Komisi I bidang pemerintahan, dan satu orang wakil ketua. Mereka adalah Leonardy Harmayni, Musmaizer, Zailis Usman (ketiganya Fraksi Partai
Golkar), Dodi Delvi, Eldi Sutrisno, Liswandi (ketiganya Fraksi Demokrat), Indra Dt Rajo Lelo (Fraksi PAN), Islon Chong (Fraksi PBR), dan
Marthias Tanjung (Fraksi PPP).
Menurut mantan Ketua Forum Peduli Sumatera Barat Mestika Zed, kepergian para anggota Dewan ke Italia itu tak ada untungnya dan secara
moral tak bisa dipertanggungjawabkan.
"Jawabannya sudah klise, karena ini sudah dianggarkan. Padahal dari dulu studi banding ini sudah banyak dibahas. Apa untungnya bagi
masyarakat, tidak ada. Ini hanya manipulasi oleh anggota Dewan," kata Mestika kemarin.
Mestika, yang pernah membongkar kasus korupsi berjemaah anggota DPRD Sumatera Barat periode 1999-2004, mengatakan masyarakat juga ikut
bertanggung jawab karena telah ikut memilih anggota Dewan yang seperti itu. Dia mengatakan masyarakat harus ikut mengevaluasi anggaran
DPRD.
"Harus ada mekanisme (yang memungkinkan) masyarakat tahu ke mana anggaran digunakan," kata Mestika.
Seorang warga Sikakap, Kepulauan Mentawai, Awo Jaluhu, berharap anggota DPRD tersebut segera pulang ke Padang. "Lihatlah, banyak korban
yang masih tinggal di hutan, dingin, berhujan-hujan, apalagi saat badai seperti sekarang. Lebih baik bantu kami daripada jalan-jalan," ujarnya.



















Mari kita lihat contoh lain, agar dapat semakin memahami krisis rasa malu dalam dunia politik di Indonesia:
Gaji Buta, Krisis Moral dan Rasa Malu Kita
Seorang anak pejabat teras di Setdakab Pidie yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS)
ditengarai sudah dua tahun menikmati gaji buta. PNS yang berdinas di Kantor Pendidikan
dan Latihan Pidie tersebut selama dua tahun ini mengikuti kuliah di Banda Aceh, namun
tetap menerima gaji sebagaimana PNS lainnya. Berita ini hanya sebuah berita “basi”, hanya
status si anak pejabat yang membuat “ramai”. Sudah bukan rahasia lagi negeri ini dikelola
penuh dengan KKN Plus. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme plus. Mau bekerja di
pemerintahan? Harus dekat dekat dengan pejabat pemerintah atau penguasa. Bila tidak
harus punya dana puluhan juta alias menyogok bila ingin menjadi PNS. 
Setali tiga uang di instansi negara lainnya. Mau masuk ke manapun di lembaga pengelola
negara, harus menyediakan dana atau punya lobi kuat ke “atas”. Ini sudah terjadi sejak
puluhan tahun lalu, dan sayangnya semakin “mengganas” di masa reformasi. Banyak yang
sebelumnya mencaci maki KKN, malah diam diam terlibat sistem yang sudah sedemikian
dalam dengan KKN-isme dalam mengelola negara ini. Kita boleh bertanya; berapa banyak
pegawai negeri yang masuk resmi dan murni karena rekrutmen profesional? Mungkin
semua akan berkilah, apalagi mereka yang terkait dengan pengeruk uang negara. Merekalah
yang punya negara ini, kita cuma menumpang! Bahkan hukum pun mereka kuasai, bersama
mereka yang mampu menekan, dengan berbagai cara. Lihatlah situasi terkini di Aceh saja,
siapa yang dekat dengan penguasa atau mereka yang kuatlah yang akan berhasil mengeruk
uang negara melalui proyek proyek atau jabatan empuk. Atau mereka yang mau mengemis,
mendesak dan menjilat. Beginilah nyatanya situasi negeri yang berazas hukum dan konon
amat bermoral ketimuran karena rakyatnya yang taat beragama ini.
            Sungguh inilah yang sering kita sebut kepura puraan. Kasus anak pejabat Pidie ini hanya sebutir pasir di sebuah pantai yang amat kotor airnya dan butir butir pasirnya. Berselemak KKN! Anda ingin memasukkan anak ke sekolah favorit? Mau masuk dan mengabdi di institusi tertentu? Bahkan ingin menjadi seorang pejabat di lingkungan basah? Bersiap siaplah pakai modal sejumlah dana pendukung.
Ya wajar sajalah, mau jadi Caleg, bupati, gubernur apalagi presiden perlu modal uang, minimal untuk kampanye atau ditabur taburkan ke konstituennya, ya rakyat. Entah sistem apa ini namanya. Soal Pilsung yang kita agung agungkan cuplikan sebuah demokrasi yang kita ambil dari negara negara dengan demokrasi maju, ternyata palsu sampai di lapangan negeri ini. Rakyat yang semakin hedonis, materialis, menilai semata mata karena uang. Kita ini hidup semakin dalam ke jurang kemunafikan. Sulit mengubah sistem yang buruk ini, meski Menteri Penertiban Aparatur Negara sendiri mengatakan aparatur negara semakin baik dari hari ke sehari. Semakin diatur, yang tidak tepat akan “dibuang” ke lembaga yang kurang berfungsi. Tapi kenyataannya kita lihat betapa banyak uang negara dihambur hamburkan sia sia, termasuk kepada jutaan penerima gaji buta.
Kita belum melongok ke instansi lain, yang makan gaji buta, yang dengan bangga menerima dana apresiasi lain yang sebenarnya “tidak halal”. Tidak halal? Siapa yang peduli di negeri yang rakyatnya, sekali lagi hampir seluruh rakyatnya semakin mengagung agungkan materi? Menghormati dan kagum kepada mereka yang punya uang dan jabatan? Maka semua orang berlomba lomba mendapat sanjungan dari rakyat seperti ini. Pemimpin dan rakyat seolah menikmatinya, dan pura pura tidak tahu bila terjadi penyelewengan, konon lagi bila mereka terlibat di dalamnya. Di mulut manis dan suci, tapi sukar melihat diri sendiri dengan cermin yang bersih.
Cermin kita kotor. Dan siapa yang mau bercermin. Toh pemimpin dan rakyat sama saja. Bukankah pemimpin lahir dari rakyat? Bagaimana rakyatnya begitulah pemimpin yang lahir. Selamat bermimpi ke negeri mimpi, yang tidak pernah ada bahkan dalam acara televisi pun bisa berganti ganti stasiun tergantung bayaran.
Begitulah wajah kita, bicara manis dan idealis, tapi bertemu uang baho pun suyok. Sudahlah, lupakan cita cita membangun negara yang maju. Dan bersiaplah saling memakan bila krisis menerpa kita. Semuanya buah dari krisis moral dan rasa malu yang telah amat panjang dan kronis di negeri ini.
Dapat disimpulkan bahwa, para elit politik kita seakan kekurangan budaya sopan santun  dalam berpolitik. Banyak krisis yang dihadapi bangsa kita dikarenakan perilaku para elit politik kita. Seperti contoh anggota DPR yang pergi ke Italia untuk mengunjungi pameran kopi sedangkan di daerahnya, Mentawai sedang diguncang gempa dan tsunami yang banyak menewaskan banyak jiwa. Para elit politik kita seakan tidak memiliki rasa malu kepada masyarakat.
Sebagai solusinya, sebaiknya kita sebagai generasi muda harus menata norma dan kelakuan kita sehingga kelak ketika kita terjun kedalam masyarakat, kita dapat mengkontrol dan mengetahui bahwa kesadaran rasa malu itu sangat dibutuhkan untuk bermasyarakat.

By : Lea

Tidak ada komentar:

Posting Komentar